Tentang BLAM di Masa Lalu (2)

16 Apr 2019
Tentang BLAM di Masa Lalu (2)

Ada satu masa ketika Litbang Agama Makassar mengalami kevakuman pimpinan. Kalau tidak salah, antara tahun 1984 - 1986. Sejak Tanetting Syamsuddin (TS) meninggal dunia, Balai Litbang Agama Makassar tidak lagi memiliki kepala balai definitif.

Dalam rentang waktu itu, Jakarta menugaskan Pak Yusri Abadi (YA), yang sebelumnya menjabat Kepala Sub Bagian Tata Usaha BLAM menjadi pelaksana tugas (Plt.) Kepala Balai. Jabatan Pelaksana Tugas Kepala BLAM itu berlangsung cukup lama sampai dua tahun, relatif sama dengan masa jabatan Kepala BLAM pertama Pak Ahsan Husain (AH) yang juga dua tahun.

Meski sebagai Plt, Pak YA memiliki otoritas penuh mengambil kebijakan substantif sebagaimana layaknya kepala balai definitif mengatur lalu lintas penggunaan anggaran, kalau perlu dia juga bisa melakukan mutasi jabatan struktural khusus level eselon lima, yang sejatinya tidak bisa dilakukan pelaksana tugas yang sifatnya hanya transisi.

Tapi, begitulah asyiknya di litbang, dan dalam rentang waktu selama itu, YA segera mengimplementasikan visinya. Merangkul staf dan para peneliti dengan pendekatan taktis tapi persuasif. Salah satu rekam jejaknya yang menurut saya patut diapresiasi adalah kebijakan obyektifnya dalam mendistribusikan tugas dan yang adil dan seimbang kepada stafnya.

Tidak ada peneliti yang mengalami surplus peran. Juga tidak ada yang merasa jadi penonton karena tidak terpakai. Tidak ada kesan like and dislike. Semua dapat peran sesuai tusi dan kemampuan kompetensinya.

Belakangan ketika secara silih berganti, muncul kepala-kepala balai definitif, kondisi seperti ini sering ada kebocoran dan masuk angin. Ada pihak memanen peran maksimal, namun ada pula yang merasa terpinggirkan, merasa tidak dibutuhkan. Stress, depresi, amuk psikologis, kecewa, atau mengalami penurunan kognitif hingga terpuruk ke level frustrasi.

Sejak Pak TS meninggal dunia tak ada lagi mobil yang lalu lalang di halaman parkir Balai Litbang Agama Makassar, YA sendiri hanya mengenakan sepeda motor vespa warna biru tua yang tetap mengkilap. Kalau ada tamu yang hendak dijemput dari Jakarta, YA terpaksa meminjam mobil salah satu penelitinya ABC (Abu Bakar Caneng) berupa kijang Toyota Grand warna merah darah.

Alangkah kontrasnya dengan peneliti litbang saat ini. Parkiran penuh mobil-mobil edisi terakhir. Ke lapangan dengan Pesawat Garuda membawa ransel jinjing di punggung. Menggunakan ponsel keluaran terbaru dengan fasilitas menu untuk melacak alamat di lokasi penelitian, kamera digital, dan laptop.

Wahai - alangkah jauhnya jarak mereka dengan kami di masa YA dan beberapa tahun sesudahnya. Cukup puas dengan moda transportasi laut, PELNI kelas tiga, terapung apung siang dan malam, mengalami polusi bau keringat dari banyak penumpang. Tanpa dibekali uang informan dan nasumber di lapangan.

Ketika tidak lagi jadi Plt., YA akhirnya pindah ke Jakarta bergabung ke Puslitbang Lektur Keagamaan. Tentang nama YA ketika masih di Makassar, pernah disindir Pak Hafid Dasuki, mentor sekaligus Kepala Puslitbang Lektur Keagamaan, saat memberikan sambutan di depan karyawan Balai Litbang Agama Makasar. Tak ada yang abadi selain Allah, katanya diiringi gelak tawa para hadirin. Mendengar sindiran itu, YA hanya tersenyum dan terlihat tersipu malu.

Pria dari wija to Luwu ini, sehari-hari tampil perlente. Rambut keriting berombak yang tetap mengkilap dan tersisir rapi. Di usia yang mungkin sudah tujuh puluhan tak terlihat rambut putih di kepalanya. Kulit wajahnya masih tetap kencang, tak ada keriput dan giginya masih tetap utuh, putih berjejer rapi seperti bintang iklan pasta gigi ternama. Wajahnya segar, terlihat jauh lebih muda dari usianya.

Suatu ketika di Jakarta saya bertanya kepadanya tentang tips kuat menjaga kesehatan , sehingga tetap awet. Apakah ada mantra dari Luwu, tanya saya bercanda. YA tersenyum, saya tidak makan daging dan lebih banyak minum air putih, katanya. Tapi, bagaimana dengan coto Makassar, pallubasa Serigala, atau konro bakar Latimojong?,. YA menggelengkan kepala "saya tidak pernah lagi menyentuhnya,” katanya tersenyum.

Senyum kemenangan terhadap keserakahan nafsu makan yang tidak terkontrol. Nah, bagi Anda yang berusia lima puluhan apalagi sudah kepala enam dan mulai sakit-sakitan, cobalah resep di atas. Siapa tahu mujarab, Karena Prof. Dr. Yusri Abady sangat menikmatinya.[]

(dikisahkan kembali dari Catatan Alm. Abd. Shadiq Kawu, 8 September 2016 yang lalu)

aL/diad

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI