Toleransi di Pulau Seribu Rotan: Tradisi Lokal dan Keindahan Alam Pulau Rote

22 Mei 2024
Toleransi di Pulau Seribu Rotan: Tradisi Lokal dan Keindahan Alam Pulau Rote
Alat musik sasando dimainkan oleh Jeremiah August Pah seniman musik di Rote, Nusa Tenggara Timur. (Sc: WIKI COMMON/ Fakhri Anindita/Indonesia.go.id).

Rote merupakan salah satu pulau dengan kekayaan alam dan budaya yang indah dipandang mata. Wilayah tersebut merupakan pulau terluar di selatan Indonesia yang terletak di provinsi Nusa Tenggara Timur.

 

Pulau itu terkenal dengan sebutan “Negeri Seribu Lontar”, karena di sana terdapat banyak pohon lontar dan terkenal dengan kerajinan-kerajinannya yang diolah dari daun dan pohon lontar. Pohon terebut masih satu famili dengan pohon kelapa dan pohon aren. Namun, yang membedakan dari pohon kelapa adalah pohon lontar memiliki ciri khas seperti anyaman pada sebagian batangnya.

 

Hampir di setiap bagian dari pohon lontar dapat dimanfaatkan untuk kehidupan masyarakat Rote. Batang pohon lontar bisa menjadi rangka yang kuat untuk rumah. Buahnya sangat bermanfaat untuk kesehatan, sedangkan daunnya dapat digunakan untuk kerajinan dan perkakas rumah tangga.

 

 

Budaya dan Alam Rote

Topi ti’ilangga bermakna pelindung kepala, merupakan topi khas laki-laki Rote yang menjadi salah satu hasil kerajinan dari daun lontar. Topi tersebut berbentuk seperti koboi dengan sesuatu mirip antena di bagian atasnya.

 

Ti’ilangga, menurut cerita orang Rote, memiliki sejarah yang berasal dari orang barat. Namun, seiring berjalannya waktu dan berinteraksi dengan budaya setempat, topi ini dimodifikasi dengan tradisi lokal baik dalam bentuknya yang sudah dimodifikasi, maupun filosofinya. Oleh karena itu, topi ti’ilangga memiliki makna keperkasaan dan kehormatan untuk laki-laki Rote.

 

Selain itu, tradisi yang berkembang di pulau Rote adalah sopi, minuman keras yang produksinya dilakukan dengan cara penyulingan dari bahan baku daun lontar. Terdapat pula gula air rote, hasil olahan nira lontar yang sangat bermanfaat untuk kesehatan tubuh seperti menyembuhkan maag, gula darah, dan sebagainya. Rote juga memiliki alat musik khas yang dihias dengan daun lontar bernama sasando.

 

Selain memiliki pohon lontar yang melimpah, Rote juga memiliki keindahan pantai dan laut. Surga tercermin pada keindahan alam laut Rote.

 

Pantai daerah Oeseli, misalnya, memiliki keindahan alam laut yang masih alami. Airnya jernih, bening, dangkal, dan tenang yang dikombinasikan dengan pasir putih menjadikan laguna di Oeseli menjadi salah satu spot pemandangan terindah dipandang mata. Tak selesai hanya dengan laguna, Oeseli juga menyajikan pemandangan pantai dan teluk yang sangat indah. Sangat menakjubkan pemandangan di belakang kampung kecil di Oeseli ini.

 

 

 

Moderasi Beragama di Rote

Pada tataran lain, masyarakat Rote memiliki  sikap toleransi yang sangat tinggi. Mereka mampu hidup berdampingan dengan agama yang berbeda tanpa terjadinya perpecahan.

 

Gereja dan masjid dibangun berdampingan tanpa ada perseteruan sedikit pun. Penduduk Rote saling menghargai budaya dan agama berbeda yang ada di sekililingnya. Mereka memfasilitasi apa yang dibutuhkan oleh ajaran agama yang dianut oleh saudaranya, baik bagi yang beragama Kristen maupun Islam.

 

Ketika mengunjungi Batu Tua, penduduk di sana menjelaskan poin penting tentang toleransi dan kerukunan yang dibangun masyarakat setempat. Nusak Ti, atau suku Ti yang ada di Batu Tua merupakan orang-orang yang memiliki kepribadian yang sangat ramah terhadap orang lain, bahkan terhadap orang-orang yang tidak mereka kenal.

 

Mereka memiliki istilah untuk bertegur sapa “minum tuak do” yang berarti minum tuak dulu. Namun, ini hanyalah istilah bahasa yang digunakan dan tidak dimaksudkan untuk meminum tuak yang sebenarnya. Istilah tersebut menjadi tradisi yang sering diucapkan untuk mengajak orang-orang yang mereka temui untuk singgah ke rumah dan berbincang santai sambil disuguhkan makanan serta minuman ringan. Keramahan orang-orang Ti menjadi faktor masyarakat muslim bisa diterima di Batu Tua yang mayoritas Kristen. Bahkan dapat hidup berdampingan dengan toleransi yang sangat tinggi.

 

Bentuk toleransi lainnya yang dilakukan masyarakat Rote adalah merayakan Valentine Day bersama-sama. Namun, tidak seperti mayoritas masyarakat modern merayakan Valentine Day, mereka justru memperingatinya dengan memberikan sedekah kepada para janda dan anak-anak yang membutuhkan. Tentu saja perilaku tersebut sangat positif dan baik untuk ditiru oleh masyarakat luar.

 

Selain ramah, masyarakat Ti juga tegas dalam bertindak. Namun, perlu digarisbawahi bahwa ketegasan mereka adalah untuk menuntas kejahatan yang terjadi di lingkungannya.

 

Ketika orang-orang Ti menegur atas kesalahan yang dilakukan namun tidak diindahkan, mereka tidak akan segan untuk melenyapkannya. Begitu pula pada kasus pencurian, seseorang yang ketahuan mencuri dan sudah dimaafkan, namun mengulangi perbuatan tersebut, maka mereka akan bertindak. Bahkan, hukuman yang mereka berikan biasanya kematian.

 

Dengan demikian, perdamaian dan toleransi tetap terjaga di Batu Tua, Rote. Toleransi dan kerukunan yang sangat tinggi ini telah dibangun dan dijaga kelanggengannya di seluruh pelosok Pulau Rote.

 

Selain di daerah Batu Tua, ditemukan juga beragam bentuk toleransi antara umat yang berbeda agama, seperti di Ba’a, Oeangge, dan Oeseli. Hidup berdampingan antara masyarakat Kristen dengan Islam menjadi tradisi turun temurun di wilayah tersebut.

 

Keunikan yang dimiliki pulau dan penduduk Rote memberikan keindahan yang menyeluruh. Kekayaan tradisi lokal serta keindahan alamnya bukan hanya bermanfaat bagi kehidupan masyarakat Rote, tetapi juga menjadi contoh bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan kerukunan.

(FZ/diad)

Penulis: Fakhriati/Faza
Sumber: Fakhriati
Editor: Dewi Indah Ayu
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI