Urgensi Moderasi Beragama di Era Society 5.0

Salatiga (BLA Semarang)---Dosen Fakultas Syariah UIN Salatiga, Muhammad Chairul Huda, menekankan pentingnya memahami dan mengimplementasikan moderasi beragama di era Society 5.0. Menurutnya, era tersebut merupakan fase ketika teknologi dan kemanusiaan berpadu untuk meningkatkan kualitas hidup manusia.
“Di balik kemajuan ini, muncul tantangan baru berupa era post-truth, yakni kebenaran menjadi relatif dan opini publik rentan dibentuk oleh hoaks serta manipulasi informasi,” tuturnya dalam kegiatan Penguatan Moderasi Beragama bagi Guru Agama se-Kota Salatiga yang diselenggarakan oleh Balai Litbang Agama (BLA) Semarang di Aula PLHUT Salatiga, Rabu (11/6/2025).
“Salah satu tantangan besar yang kita hadapi saat ini adalah derasnya arus informasi palsu, terutama yang berkaitan dengan isu politik, kesehatan, dan agama,” sambung Huda.
Huda juga menegaskan bahwa dalam konteks masyarakat Indonesia yang religius dan majemuk, moderasi beragama menjadi kunci untuk menjaga kerukunan dan menghindari polarisasi.
“Moderasi beragama bukan berarti menurunkan kualitas keimanan, tetapi bagaimana kita menyeimbangkan antara semangat beragama dan komitmen kebangsaan,” ucapnya.
Dalam dunia pendidikan, lanjut Huda, guru agama memiliki peran strategis sebagai garda terdepan dalam menyemai nilai-nilai moderasi. Menghadapi era digital yang sarat tantangan, guru tidak cukup hanya memahami ajaran agamanya, tetapi juga dituntut menguasai keterampilan digital, memiliki etika digital, serta membangun budaya digital yang sehat dan toleran.
“Guru agama harus menjadi figur yang mampu menjadi rujukan dan panutan dalam berpikir jernih, menyampaikan kebenaran, serta menghindari penyebaran informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan,” tegasnya.
Terakhir, Huda mengajak para guru untuk menjadi pribadi yang berani membaca (iqra’), melakukan tabayun (verifikasi informasi), berpikiran terbuka, serta aktif menulis dan berbicara secara bijak di ruang publik.
“Moderasi beragama bukan hal abstrak. Ia adalah praktik nyata yang bisa diukur dan dirasakan dampaknya dalam kehidupan masyarakat yang damai, harmonis, dan toleran,” pungkasnya. (Ludy Chyntia Hawa Saputri dan Fathurozi)