Widyaiswara dalam Perspektif ‘Rahmatan Lil ‘Alamin’: Mendidik dan Menginspirasi Ekoteologi demi Harmoni Semesta

Oleh Neneng Maria Kiptyah, Widyaiswara Pusat Pengembangan Kompetensi Manajemen, Kepemimpinan dan Moderasi Beragama
Email: nenengmariakiptyah14@gmail.com
Isu lingkungan hidup dewasa ini menjadi perhatian global yang semakin mendesak. Kerusakan alam, perubahan iklim, dan menurunnya kualitas hidup akibat eksploitasi sumber daya alam menuntut peran serta dari seluruh elemen masyarakat, termasuk dunia pendidikan. Dalam konteks Aparatur Sipil Negara (ASN), peran widyaiswara sebagai pendidik dan pelatih memiliki posisi strategis untuk menanamkan nilai-nilai spiritual dan ekologis yang berpadu dalam konsep ekoteologi.
Ekoteologi telah dikenal sejak lama sebagai upaya untuk menyatukan keyakinan agama dengan perlindungan lingkungan. Di Indonesia, konsep ekoteologi mulai diperkenalkan dan dikembangkan sebagai bagian dari upaya menjaga keberlangsungan alam dan kehidupan manusia. Dengan pemahaman yang mendalam tentang keterkaitan antara agama dan lingkungan, diharapkan masyarakat dapat lebih peduli dan proaktif dalam melindungi bumi ini untuk generasi mendatang.
Ekoteologi merupakan sebuah studi yang tidak hanya mempelajari hubungan antara manusia dan alam semesta, tetapi juga tanggung jawab bersama untuk menjaga dan melestarikan lingkungan hidup demi keberlangsungan kehidupan di bumi ini. Dalam kitab suci agama-agama yang ada di Indonesia, pengajaran tentang pentingnya menjaga alam semesta dan lingkungan hidup juga dapat ditemukan.
Hal ini menunjukkan bahwa konsep ekoteologi telah lama menjadi bagian integral dari ajaran agama-agama di Indonesia. Melalui pemahaman dan praktik ekoteologi, diharapkan manusia dapat hidup berdampingan dengan alam semesta secara seimbang dan harmonis, demi menjaga keberlangsungan kehidupan di bumi ini. Dengan demikian, ekoteologi menjadi landasan penting dalam memandu manusia untuk bertanggung jawab dalam menjaga alam dan lingkungan hidup demi keberlangsungan masa depan yang berkelanjutan.
Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam) memberikan dasar nilai yang kuat untuk mendorong kesadaran ekologis umat manusia. Konsep ini mengajak manusia untuk tidak hanya beribadah secara ritual, tetapi juga menjaga alam sebagai bagian dari ibadah sosial dan tanggung jawab khalifah di bumi.
Tulisan ini membahas bagaimana peran Widyaiswara dapat menjadi bagian dari agen perubahan yang menanamkan nilai-nilai ekoteologi kepada ASN melalui pendekatan rahmatan lil ‘alamin.
Konsep Dasar Ekoteologi dan Rahmatan lil ‘Alamin
Ekoteologi adalah pendekatan yang mengintegrasikan nilai-nilai spiritual dengan kesadaran ekologis. Dalam Islam, relasi manusia dengan alam sangat erat dan diatur oleh nilai-nilai ilahiah.
وَاِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلٰۤىِٕكَةِ اِنِّيْ جَاعِلٌ فِى الْاَرْضِ خَلِيْفَةً ۗ قَالُوْٓا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاۤءَۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۗ قَالَ اِنِّيْٓ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ
30. (Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.”
Dalam ayat di atas manusia disebut sebagai khalifah (QS. Al-Baqarah: 30) yang bertugas untuk memakmurkan bumi dan menjaganya, bukan merusak. Dalam Al-Qur’an, kata khalīfah memiliki makna ‘pengganti’, ‘pemimpin’, ‘penguasa’, atau ‘pengelola alam semesta’. Manusia juga diperintahkan untuk berperilaku seimbang dan tidak boros dalam penggunaan sumber daya alam. Sebagai contoh, konsep ekoteologi dalam Islam mendorong umat Islam untuk menjaga kelestarian alam dengan cara mengurangi penggunaan plastik sekali pakai dan memilih produk ramah lingkungan. Selain itu, praktik eco-friendly seperti penggunaan energi terbarukan dan daur ulang juga dianjurkan sebagai wujud implementasi konsep rahmatan lil ‘alamin.
وَمَآ اَرْسَلْنٰكَ اِلَّا رَحْمَةً لِّلْعٰلَمِيْنَ
107. Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Konsep rahmatan lil ‘alamin (QS. Al-Anbiya: 107) yang disebutkan di atas menekankan bahwa kehadiran Islam membawa rahmat, kedamaian, dan keseimbangan bagi seluruh makhluk, termasuk alam semesta. Oleh karena itu, tugas manusia dalam bingkai Islam adalah menjaga keseimbangan ekologis sebagai bentuk implementasi dari nilai-nilai spiritual. Menurut Seyyed Hossein Nasr (1997), krisis ekologi yang terjadi saat ini merupakan akibat dari hilangnya kesadaran spiritual dalam memandang alam sebagai ciptaan Tuhan yang suci.
Hal tersebut dapat dilihat dari kerusakan lingkungan yang semakin parah dan dampak negatifnya terhadap kehidupan. Untuk mengatasi krisis ekologi ini, perlu adanya kesadaran akan pentingnya menjaga alam semesta sebagai amanah dari Tuhan. Manusia sebagai khalifah di bumi harus bertanggung jawab atas keberlangsungan hidup makhluk lainnya dan menjaga keseimbangan ekologis. Dengan mengembalikan nilai-nilai spiritual dalam hubungan dengan alam, diharapkan manusia dapat menjaga kelestarian bumi sebagai bentuk ibadah kepada Tuhan Yang Maha Pencipta.
Hal ini juga penting untuk memperbaiki pola konsumsi dan produksi yang berlebihan serta merugikan lingkungan. Selain itu, upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan memanfaatkan sumber energi terbarukan juga merupakan langkah penting dalam menjaga keberlangsungan bumi. Dengan kesadaran akan pentingnya menjaga alam semesta, diharapkan manusia dapat hidup berdampingan dengan makhluk lainnya dan menjaga keberagaman hayati yang ada di bumi ini.
Semua ini merupakan bagian dari tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi dan sebagai bentuk penghormatan kepada Sang Pencipta. Konsep Rahmatan Lil Alamin merupakan landasan utama dalam menjalankan tugas tersebut. Contoh yang jelas terkait hal ini adalah ketika sebuah perusahaan memilih untuk menggunakan energi matahari sebagai sumber energi untuk operasional mereka, sehingga mengurangi emisi gas rumah kaca dan merugikan lingkungan. Selain itu, ketika masyarakat secara kolektif melakukan kampanye penghijauan dan penanaman pohon untuk memperbaiki lingkungan hidup, hal ini juga merupakan langkah penting.
Peran Kementerian Agama dalam Peningkatan Kesadaran Lingkungan
Kementerian Agama mempunyai tanggung jawab untuk melindungi alam semesta dan ekosistemnya. Sebagai salah satu representasi pemerintah, Kementerian Agama harus mendukung Asta Cita Presiden Prabowo dalam menjaga lingkungan hidup. Dalam hal ini, ekoteologi dapat menjadi landasan filosofis yang mendukung upaya Kementerian Agama dalam menjalankan tugasnya.
Ekoteologi mengajarkan bahwa alam semesta adalah ciptaan Tuhan yang harus dijaga dan dilestarikan oleh umat manusia. Dengan memahami konsep ini, Kementerian Agama dapat membangun kebijakan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan untuk melindungi alam semesta dan ekosistemnya. Dengan menerapkan prinsip-prinsip ekoteologi, Kementerian Agama dapat bekerja sama dengan berbagai pihak untuk menciptakan kebijakan yang mendukung pelestarian lingkungan.
Selain itu, dukungan terhadap Asta Cita Presiden Prabowo dalam menjaga ekosistem juga akan memperkuat komitmen pemerintah dalam melindungi alam semesta. Dengan demikian, upaya pelestarian lingkungan tidak hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Lingkungan Hidup, tetapi juga menjadi perhatian utama bagi seluruh instansi pemerintah, termasuk Kementerian Agama.
Dalam konteks ini, Kementerian Agama juga dapat memainkan peran penting dalam memberikan pemahaman agama yang mendukung pelestarian lingkungan kepada masyarakat. Melalui program-program pendidikan dan sosialisasi yang berbasis ekoteologi, masyarakat dapat lebih memahami hubungan antara agama, lingkungan, dan keberlangsungan hidup manusia.
Dengan demikian, Kementerian Agama tidak hanya berperan sebagai lembaga yang mengatur urusan keagamaan, tetapi juga sebagai agen perubahan dalam menjaga kelestarian alam semesta. Sebagai contoh, Kementerian Agama dapat mengadakan seminar tentang ajaran agama yang mendorong perlindungan lingkungan, serta melibatkan komunitas agama dalam kegiatan reboisasi dan pengelolaan sampah. Dengan demikian, masyarakat akan semakin teredukasi tentang pentingnya menjaga lingkungan hidup sesuai dengan ajaran agama yang dianut.
Hal ini juga akan memberikan dampak positif bagi keberlangsungan hidup manusia di bumi ini, karena lingkungan yang sehat akan mendukung kesejahteraan dan keberlanjutan kehidupan manusia. Selain itu, melalui kerjasama antara Kementerian Agama dan komunitas agama, diharapkan akan tercipta sinergi yang kuat dalam menjaga alam dan mengatasi berbagai tantangan lingkungan yang dihadapi saat ini. Dengan demikian, upaya pelestarian lingkungan bukan hanya menjadi tanggung jawab individu, tetapi juga merupakan tanggung jawab bersama untuk menjaga keberlangsungan hidup manusia dan alam semesta ini.
Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, diperlukan kerjasama dan kesadaran dari semua pihak. Dengan begitu, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan sehat untuk generasi mendatang. Pusat Pengembangan Kompetensi Manajemen, Kepemimpinan dan Moderasi Beragama (Pusbangkom MKMB) sebagai salah satu unit eselon II pada Badan Moderasi Bergama dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Agama akan terus berusaha untuk membangun kolaborasi yang kuat antara berbagai pihak dalam mencapai tujuan tersebut.
Salah satu pilar dalam pengembangan kompetensi adalah widyaiswara. Widyaiswara akan bertanggung jawab untuk menyebarkan pengetahuan dan keterampilan kepada masyarakat dalam upaya menjaga lingkungan hidup. Dengan adanya kesadaran dan pengetahuan yang luas, diharapkan masyarakat dapat turut serta aktif dalam melindungi alam semesta dan memastikan keberlangsungan kehidupan manusia di bumi ini. Melalui kolaborasi yang kuat dan upaya bersama, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan sehat untuk masa depan yang lebih baik.
Peran Strategis Widyaiswara dalam Mendidik dan Menginspirasi Ekoteologi
Widyaiswara bukan sekadar pengajar, tetapi juga fasilitator nilai dan transformasi perilaku serta sebagai inspirator. Dalam konteks ekoteologi, widyaiswara dapat mengintegrasikan nilai-nilai keberlanjutan dan cinta lingkungan dalam setiap pelatihan, terutama pelatihan dasar Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), pelatihan kepemimpinan, dan pelatihan teknis. Tidak hanya dalam pelatihan namun widyaiswara dapat pula mengintegrasikannya dalam pengembangan kompetensi lainnya misalnya webinar, workshop dan lain sebagainya.
Pendekatan pembelajaran transformatif yang menyentuh aspek akal dan nurani sangat relevan untuk membentuk kesadaran ekoteologis peserta. Metode-metode seperti studi kasus lingkungan, proyek sosial berbasis komunitas, dan refleksi spiritual dapat digunakan untuk menginternalisasi nilai ekoteologi dalam pembelajaran ASN. Jack Mezirow (1991) (dalam Naim:2018) menyatakan bahwa pembelajaran transformatif membantu individu untuk meninjau ulang pandangan dunianya dan mengembangkan makna baru yang lebih bermakna dan bertanggung jawab. Hal ini senada dengan pendapat Hardika (2020) bahwa kunci utama dalam pembelajaran transformatif, yaitu proses pendampingan, pembangkitan semangat, pemberian kepercayaan, pengakuan prestasi, dan penciptaan kemandirian belajar.
Menjadi Rahmat bagi Semesta: Praktik Nyata Pendidikan Berwawasan Ekoteologi
Beberapa praktik nyata yang dilakukan oleh lembaga pelatihan ASN, termasuk Pusat Pengembangan Kompetensi Manajemen, Kepemimpinan dan Moderasi Beragama (Pusbangkom MKMB), Balai Diklat Keagamaan (BDK) dan Loka Diklat Keagamaan, menunjukkan bahwa nilai-nilai lingkungan dapat ditanamkan dalam pelatihan atau pengembangan kompetensi. Kegiatan yang dapat dilakukan misalnya memotivasi dan membimbing peserta dalam menyusun dan mengimplementasikan laporan aktualisasi, aksi perubahan, dan proyek perubahan yang mengangkat tema pelestarian lingkungan, green campus, green office, dan yang lainnya.
Selain itu, mendukung program tanam pohon oleh alumni pelatihan, atau pemilahan sampah di lingkungan kerja. Widyaiswara dapat pula memanfaatkan media sosial untuk dapat menyebarkan semangat dan dukungan terhadap ekoteologi dengan cara membuat konten terkait ekoteologi.
Melalui penguatan materi moderasi beragama, etika ASN, dan kepemimpinan etis, widyaiswara dapat menanamkan bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari tanggung jawab moral dan spiritual ASN. Hal ini sejalan dengan semangat rahmatan lil ‘alamin.
Beberapa tantangan dalam pengarusutamaan ekoteologi melalui widyaiswara antara lain:
1. Belum meratanya pemahaman widyaiswara tentang ekoteologi;
2. Kurangnya kurikulum pelatihan yang berorientasi keberlanjutan;
3. Budaya birokrasi yang belum responsif terhadap isu lingkungan.
Rekomendasi yang dapat diajukan meliputi:
1. Pelatihan khusus atau TOT bagi widyaiswara tentang ekoteologi dan pembelajaran transformatif.
2. Integrasi nilai spiritual dan lingkungan dalam kurikulum dan modul pelatihan ASN.
3. Kolaborasi antara lembaga pelatihan dengan instansi lingkungan hidup dan tokoh agama untuk memperkaya materi.
Penutup
Peran Widyaiswara sangat penting dalam membentuk ASN yang tidak hanya kompeten secara teknis, tetapi juga sadar akan tanggung jawabnya terhadap alam dan sesama. Melalui nilai-nilai rahmatan lil ‘alamin, widyaiswara dapat menjadi agen pembaharu yang mengedepankan harmoni semesta dalam setiap proses pembelajaran. Pendidikan bukan hanya soal pengetahuan, tetapi juga tentang membangun kesadaran dan etika keberlanjutan. Dalam pandangan Paulo Freire, pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang memampukan manusia untuk menyadari realitas dan bertindak demi transformasi sosial yang berkeadilan (dalam Fahmi:2021).
Daftar Referensi
Al-Qur’an Al-Karim.
Fahmi, Muhammad, Menyandingkan Pendidikan Pembebasan Paulo Freire dengan Pendidikan Islam, Jurnal Tarbawi STAI Al Fithrah Volume 10 Nomor 1 2021.
Hardika, Pembelajaran Transformatif Model Pembelajaran yang Memberdayakan, Universitas Negeri Malang, 2020.
Materi Pelatihan Latsar CPNS BPSDM Kemenag.
Naim, Mohammad Strategi Pengembangan Model Pembelajaran Transformatif. Program Studi Magister Manajemen Pendidikan Islam, Universitas Nurul Jadid Probolinggo, 2018.
Nasr, Seyyed Hossein. Man and Nature: The Spiritual Crisis in Modern Man. ABC International, 1997.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara.