Masa Depan Riset Nasional

23 Agt 2019
Masa Depan Riset Nasional
Foto: Aji

Aji Sofanudin

Setidaknya 167 peneliti Kementerian Agama RI menggelar temu riset nasional di Hotel Ciputra Cibubur, 21 s.d 23 Agustus 2019. Pertemuan tersebut difasilitasi panitia dari Puslitbang LKKMO, Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI.

Hadir dalam ajang tersebut; para profesor riset, para peneliti di lingkungan Badan Litbang, serta peneliti berbagai PTAIN di Indonesia. Hadir juga para pejabat di lingkungan Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI.

Temu riset 2019 mengambil tema "Positioning Peneliti Keagamaan di Era Disrupsi". Tema ini dianggap penting, mengingat posisi kelembagaan para peneliti yang sedang galau di tengah belum jelasnya kebijakan pemerintah terkait dunia riset.

Janji politik Jokowi-Kiai Ma'ruf Amin dan amanat UU Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional IPTEK diantaranya mengamanatkan pembentukan suatu badan yg mengkoordinasikan seluruh kebijakan penelitian nasional.

Selama ini, riset nasional dikerjakan oleh berbagai lembaga seperti: LIPI, BPPT, Batan, dan Lembaga Penelitian di bawah Kementerian/Lembaga, serta perguruan tinggi. Kedepan, harapannya akan ditangani oleh satu badan yang disebut sebagai Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Problem Penelitian

BRIN dianggap sebagai solusi atas ketidaksinkronan kebijakan penelitian, double funding penelitian, serta problem carut marut peneliti. Padahal, problem serius dalam dunia riset sederhana yakni: minimnya jumlah peneliti, jumlah anggaran penelitian yang berimplikasi pada minimnya jumlah publikasi ilmiah penelitian.

Moratorium penerimaan CPNS peneliti merupakan penyebab berkurangnya jumlah peneliti. Selain itu, banyak juga yang sudah purna tugas dari peneliti. Fakta tak terbantahkan menunjukkan bahwa persentase jumlah peneliti sangat kecil dibandingkan jumlah penduduk nasional. Masih dibawah 1 persen alias nol koma sekian persen.

Demikian halnya dengan anggaran penelitian yang sangat kecil dibandingkan dengan luasnya wilayah Indonesia. Belum lagi birokrasi laporan  keuangan penelitian yang rumit, menyebabkan peneliti lebih sibuk urusan administratif dibandingkan urusan substansi.

Sementara regulasi baru menyebabkan beban kerja peneliti lebih besar berupa publikasi ilmiah di jurnal bereputasi, keikutsertaan dalam event internasional menjadi prasyarat dan HKM (Hasil Kerja Minimal). Jika tidak mampu, peneliti terancam dibebastugaskan dari profesi peneliti.

Belum lagi, tidak jelasnya format BRIN menyebabkan nasib peneliti menjadi absurd, diantara NTT (Nasib Tak Tentu) atau NTB (Nasib Tambah Baik).

Secara pribadi, saya mendukung janji politik Jokowi-Kiai Ma'ruf Amin yang dikuatkan DPR RI dalam bentuk UU Nomor 11 tahun 2019, yakni pembentukan BRIN. 

Meskipun demikian, "peleburan" kelembagaan riset dalam satu lembaga, hemat kami justru akan menimbulkan problem baru.

Masing-masing lembaga Litbang Kementerian/Lembaga memiliki karakteristik yang berbeda: jumlah lembaga, luasan wilayah kerja, persebaran SDM, serta tradisi riset yang berbeda.

Oleh karena itu, pembentukan BRIN seyogyanya berdasarkan fungsi  penelitian, pengembangan, pengkajian dan penerapan (Litbangjirap) bukan pada struktur kelembagaan.

BRIN menjadi lembaga yang mengkoordinasikan seluruh program penelitian. Sementara, Badan Litbang di bawah Kementerian/Lembaga, (entah dengan nama apa) menjadi supporting Kementerian/Lembaga masing-masing dengan mengacu Prioritas Riset Nasional yang dicanangkan oleh BRIN. Wallahu'alam.

Penulis: Aji Sofanudin (Peneliti Senior pada Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang)

Editor: diad

Penulis: Aji Sofanudin
Editor: Dewindah
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI