Pesantren dan Pemberdayaan Ekonomi

3 Sep 2010
Pesantren dan Pemberdayaan Ekonomi

PESANTREN DAN PEMBERDAYAAN EKONOMI
(Studi Kasus Pesantren Baitul Hamdi dan Pesantren Turus di Pandeglang)

 

Oleh : M. Murtadho



A. Pendahuluan
Selain menjadi tempat untuk pembinaan moral kesalehan santri dan pembelajaran ilmu-ilmu agama Islam, pesantren seyogyanya perlu juga melakukan diversifikasi keilmuan unggulan khusus dan atau melakukan diversifikasi keahlian praktis tertentu. Artinya, setiap pesantren perlu membuat satu keunggulan (nilai plus) tertentu yang membedakan pesantren satu dengan pesantren lainnya, misalnya dengan meningkatkan keunggulan dalam keahlian ilmu tertentu seperti keunggulan keahlian dalam kajian hadits, atau disiplin ilmu agama tertentu, atau bisa juga dalam bentuk keahlian praktis lain misalnya keahlian bahasa, keahlian pertanian dan keahlian praktis lainnya.

Beberapa pesantren di tanah air telah mencoba melakukan hal seperti itu dan terbukti telah menunjukkan keberhasilan, seperti Pesantren Gontor dengan penekanan pada aspek kemampuan berbahasa asing (Arab dan Inggris). Pesantren-pesantren tertentu yang menekankan pada penguasaan ilmu alat (nahwu dan shorof). Pesantren-pesantren yang mencoba membekali santri dengan kemampuan praktis seperti ketrampilan pertanian yang ada di Pesantren Darul Falah di Ciampea dekat Bogor Jawa Barat. Dalam memasuki dunia yang semakin kompetitif, ke depan pesantren-pesantren semacam itu perlu terus dikembangkan, bahkan kalau memungkinkan variasi kompetensi perlu diperbanyak lagi. Misalnya di bidang keahlian keilmuan ada pesantren yang menambah nilai plus nya dengan kepakaran di bidang tafsir, fiqh, aqoid, ilmu falak, dan sebagainya; di bidang keahlian praktis misalnya perlu ada pesantren bercorak nelayan, pesantren otomotif, pesantren elektronik dan sebagainya. 
Sebuah kenyataan ironis, kesan pertama yang ingin penulis ungkapkan dalam melihat fenomena keberagamaan yang dikaitkan dengan kemajuan ekonomi di salah satu kantong umat Islam di Pandeglang. Pandeglang memiliki jumlah pesantren mencapai bilangan ratusan, yaitu sebanyak 313 buah. Kalau jumlah itu dibagi rata-rata dengan jumlah kecamatannya yang berjumlah 24, maka akan didapatkan hasil 9 pesantren untuk sebuah kecamatan. Kesan sepintas, dengan jumlah pesantren sebanyak itu agama belum mampu memajukan masyarakat secara signifikan. Keadaan masyarakat masih terkesan tradisional, dan masih jauh dari kesan kemajuan. Belum lagi di sana terdapat juga 3 perguruan tinggi Islam (Sekolah Tinggi Mathlaul Anwar, Sekolah Tinggi Sekolah Tinggi Agama Islam Sheh Mansyur, dan STAIBANA). Ada lagi berpuluh-puluh majlis taklim yang berserakan di setiap wilayah sehingga seorang anggota masyarakat bisa menjadi anggota aktif untuk 3-5 majlis taklim sekaligus. 
Peneliti sempat tercenung, kenapa agama belum bisa mendorong kemajuan di daerah ini. Itu baru Pandeglang, bagaimana dengan daerah-daerah lain yang memiliki karakteristik keberagamaan yang sama. Terlepas bahwa pesantren tentu saja tidak bisa disalahkan begitu saja dengan ketertinggalan yang terjadi di masyarakat, dan ada kemungkinan faktor lain yang memungkinkan terjadinya kenyaataan seperti itu misalnya kebijakan politik pemerintah pusat yang tidak berpihak. Namun sekali lagi, kenapa tingginya tingkat religiositas, agama belum mampu memajukan masyarakat setempat. Padahal misi utama agama Islam dari hadits nabi disebutkan sebagai agama sebagai pembangun peradaban (untuk menyempurnakan adab/akhlak). Kata "adab" bila di kata-bendakan menjadi "peradaban". 
Eksistensi pesantren, sebagai intitusi pembelajaran agama, dalam proses modernisasi bangsa ini terasa masih berada di tempat persembunyian, bak di tengah hutan, dan belum memberikan manfaat kemajuan yang signifikan. Idiom-idiom agama yang dimunculkan dan akrab di telinga masyarakat justru berbentuk polesan-polesan agama dalam mengemas bahasa-bahasa kekalahan, misalnya sabar dalam penderitaan, syukur dalam kenikmatan walaupun kenikmatan yang sedikit dan sebagainya. Agama seakan membenarkan kekalahan-kekalahan itu. 
Dalam tulisan ini peneliti akan mengajak pembaca untuk mencoba mengamati satu fenomena usaha partisipasi pesantren dalam pengembangan ekonomi di daerah Pandeglang. Usaha-usaha ekonomi di berbagai pesantren di daerah itu, berdasarkan pengamatan peneliti, nampak masih merupakan proses awal pembangunan tradisi dan masih terkesan merangkak mencari bentuk. Sengaja peneliti memilih daerah Pandeglang sebagai model pemberdayaan ekonomi di pesantren dengan alasan: pertama, Pandeglang merupakan satu kabupaten dari propinsi baru yaitu Banten yang konon punya semangat keberislaman yang tinggi, sampai-sampai konon ada gagasan masyarakat Banten ingin menggunakan syariah Islam sebagai dasar konstitusi di daerah; kedua, Pandeglang memiliki pesantren dalam jumlah yang besar (+ 313 buah), jumlah yang idealnya mempunyai kontribusi besar bagi usaha pemberdayaan masyarakat.

B. Gambaran Wilayah Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Kabupaten Pandeglang, Propinsi Banten. Daerah Pandeglang dikenal sebagai daerah pertanian, banyak berdiri pesantren, wilayah yang masih banyak didominasi daerah pedesaan. Berbeda dengan propinsi Banten sebelah utara yang banyak dijadikan kota industri dengan mobilitas masyarakat yang tinggi, Pandeglang adalah daerah Banten selatan yang masih merupakan daerah pertanian dan tertinggal. Kab Pandeglang termasuk kabupaten yang tertinggal bersama dengan kabupaten Lebak untuk di wilayah propinsi Banten. Kabupaten Pandeglang terdiri dari 19 kecamatan memiliki pendapatan asli daerah yang masih kecil, yakni untuk tahun 1999/2000 sebanyak Rp. 4, 5 milyar, jumlah yang hanya untuk membayar pegawai daerah saja tidak cukup. 
Sebenarnya potensi ekonomi yang dimiliki Kab Pandeglang beraneka ragam. Dari potensi perairan, Pandeglang memiliki tepian pantai di sebelah Barat selat Sunda dan sebelah Selatan Samudera Indonesia, di samping itu dilewati banyak sungai. Dari potensi pertanian dan perkebunan, Pandeglang memiliki potensi pertanian tanaman pangan, perkebunan, perikanan laut dan perikanan air tawar. Dari potensi hutan, Pandeglang memiliki wilayah hutan seluas 117. 748, 50 ha. Dari potensi wisata, Pandeglang memiliki 7 kawasan wisata: yaitu Taman wisata Ujung Kulon, Pantai Carita, Pantai Tanjung Lesung, Situ Cikedal, Bama, Gunung Karang, Pantai Selatan. Dari potensi pertambangan, Pandeglang memiliki bahan mineral deposit yang terbagi atas belerang dan sumber air panas di kec. Banjar, Kapur/karang di kec. Labuan, Cigeulis, Cimanggu, Cibaliung, Cikeusik dan Cadasari; Serat Batu Gift kec Cigeulis. Sebuah potensi ekonomi yang luar biasa dimiliki oleh Pandeglang. 
Kenapa Pandeglang menjadi daerah yang tertinggal? Selain karena selama ini Pandeglang belum menjadi daerah prioritas pembangunan (alias terpinggirkan) dari kebijakan pembangunan Pusat, lemahnya SDM dan tingkat pendidikan yang rendah masyarakat menjadi alasan utama kenapa Pandeglang masih menjadi daerah yang tertinggal. Sehingga karena rendahnya rata-rata pendidikan masyarakat Pandeglang banyak orang yang hanya menjadi pengisi pada pekerjaan yang sifatnya dimanfaatkan kekuatan-kekuatan yang dimiliki masyaraakat untuk tugas-tugas ‘pengamanan’. Tekanan kemiskinan struktural yang dialami masyarakat sejak zaman kolonial ditambah dengan pembangunan daerah yang tertunda menyebabkan banyak warga masyarakat yang berpaling pada kekuatan magis yang terwadahi dalam ideologi nativisme-suatu bentuk ideologi yang tidak bisa dirumuskan secara sistematis dan rasional- dan menggambarkan alam pikiran simbolik. Keberadaan kaum jawara dan keberadaan seni Debus yang mendemontrasikan ilmu kebal menambah kuat citra tersebut. Kerendahan tingkat pendidikan dan kekaguman terhadap ilmu-ilmu yang bersifat gaib ini membuat di satu sisi masyarakat merasa terangkat dengan ketinggian ilmu batin yang dimiliki, dan ironisnya di sisi lain masyarakat menjadi tidak berdaya, diselimuti oleh ketertinggalan massif yang tak segera terpecahkan. Akibatnya, banyak warga hanya dimanfaatkan sebagai komoditas politik oleh kekuatan politik atau kepentingan tertentu. Misalnya suara rakyat dimanfaatkan untuk jual beli suara dalam pemilu oleh tokoh mesyarakat tertentu. 
Sekali lagi keadaan ini, dalam pengamatan peneliti, adalah ironis bila dibandingkan dengan jumlah pesantren yang dimiliki Kabupaten Pandeglang. Mestinya dengan jumlah pesantren yang sedemikian banyak dapat mengikis keterbelakangan dan budaya nativisme tersebut. Untuk diketahui, jumlah pesantren untuk se kebupaten Pandeglang berjumlah sebanyak 313 pesantren. Kebanyakan pesantren yang ada di sana adalah pesantren salafi, bahkan konon mencapai 90 % dari jumlah keseluruhan Pondok Pesantren di Pandeglang. Dari data pesantren di Kandepag Pandeglang jumlah pesantren yang tegas-tegas menyatakan pesantren modern hanya empat, yaitu: Matlaul Huda (Bengkung kec. Cimanuk), Masyarikul Anwar, Al Mu’awanah, Riyadunasyi (ketiganya berada di Kec. Labuan). Sedangkan yang menyatakan pesantren kombinasi (salaf dan khalaf) sebanyak 15 pesantren, selebihnya mengidentifikasikan diri sebagai pesantren salaf. 
Belum lagi, di luar pesantren yang menyatakan diri sebagai pesantren khalaf (modern) tersebut, ada beberapa pesantren dari model kombinasi yang menunjukkan secara manegemen justru lebih modern dari pesantren yang menyatakan diri pesantren khalaf. Pesantren-pesantren kombinasi di Pandeglang yang peneliti maksudkan dalam beberapa hal melangkah lebih jauh dari pesantren khalafiah dapat disebutkan seperti Darul Falah (Mandalawangi), Darul Iman (Kadupandak), Darul Ilmi (Cadasari) dan Darul Ihsan (Kadubungbang). Mereka tidak menyatakan diri sebagai pesantren modern barangkali sekedar strategi agar lebih diterima masyarakat yang umumnya tradisional, seperti di daerah Pandeglang, namun secara metode pengelolaan pesantren menggunakan managemen pesantren modern. 
Untungnya untuk kepentingan penelitian ini, peneliti menemukan data dari sekian jumlah pesantren di Pandeglang ada beberapa pesantren yang mulai sadar dan melangkah membangun tradisi berkreatifitas ekonomi dalam lingkungan pesantren. Berdasarkan Data Pondok Pesantren Penyelenggara Unit Usaha Ekonomi yang dikeluarkan oleh Proyek Peningkatan Pondok Pesantren pada Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, tahun 2002 terdaftar di Pandeglang ada 16 pesantren yang mulai mengembangkan agribisnis, 14 pesantren mulai mengembangkan koperasi, dan 12 pesantren mengembangkan home industri. 

C. Pesantren: Antara Lembaga Keulamaan dan Pusat Pengembangan Masyarakat
Secara sepintas peneliti melihat bahwa banyaknya pesantren di Pandeglang belum memberikan kontribusi yang signifikan bagi kemajuan ekonomi masyarakat. Contoh di Pandeglang ini bisa jadi tidak hanya terjadi di daerah itu, namun di banyak daerah lain, keberadaaan pesantren yang banyak belum memberikan kontribusi yang riil bagi proses pemajuan masyarakat. Anggapan ini barangkali agak sedikit sumir, karena anggapan umum yang ada mengatakan bahwa garapan pesantren bukanlah di wilayah pembangunan material, tetapi lebih ke arah pembangunan mental spiritual. Namun ungkapan sarkasme bisa diajukan lagi, sebagai lembaga pendidikan keagamaan, mestinya ajaran agama mampu memotivasi semangat kemajuan umatnya agar tidak menjadi umat yang terbelakang !
Berangkat dari asumsi itu, peneliti meraba-raba ada apa gerangan dengan pendidikan dunia pesantren ini?. Apakah ada yang salah dengan kyai nya, kurikulumnya, atau ada yang belum lengkap dalam proses estafeta kesejarahan yang terjadi. Secara kebetulan peneliti mendapatkan informasi bahwa penyusunan kurikulum dan inovasi di pesantren sangat tergantung dengan kyainya, kalau kyai itu berwawasan luas, berilmu mendalam maka akan lebih bervariasilah kurikulum pesantren yang digunakan, demikian juga sebaliknya semakin terbatas keilmuan kyai maka semakin terbatas pula kurikulum yang digunakan. Dari kenyataan ini, peneliti menaikkan sedikit analisa penelitian untuk mengamati alam pikiran apa atau paradigma apa yang mendasari pengelolaan pesantren. 
Hasil pengamatan dari kebanyakan pesantren, nampak ada dua paradigma dominan yang menghinggapi pandangan kalangan keluarga pesantren. Pertama, adalah paradigma pesantren sebagai lembaga keulamaan. Dalam konteks ini pesantren dipahami hanya sebagai tempat pengajaran dan pembelajaran agama untuk mencetak para calon ulama yang nantinya diterjunkan ke tengah masyarakat. Untuk itu dipandang naif mengembangkan pesantren untuk keperluan di luar kerangka pendidikan agama dan keulamaan. Misalnya pesantren untuk pendidikan usaha pertanian, peternakan dan lain sebagainya. Paham ini masih kuat mendominasi pandangan kebanyakan pesantren. 
Kedua, paradigma pesantren sebagai pusat pengembangan masyarakat. Paradigma ini beranggapan bahwa pesantren merupakan lembaga yang pantas dan strategis untuk pengembangan masyarakat sekitar, pesantren dianggap mempunyai elastisitas yang tinggi dalam mensikapi setiap bentuk masyarakat yang ada, sekaligus mempunyai bahasa-bahasa yang lebih diterima oleh masyarakat. Karena itu pesantren perlu dikembangkan lebih lanjut sebagai pusat pemberdayaan masyarakat, selain sebagai tempat penggodokan calon ulama. Paradigma ini nampak mulai muncul sekitar tahun 1970-an bersamaan dengan gagasan pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia sedang mulai digalakkan. Waktu itu Menteri Agama RI, Prof. Mukti Ali mencoba menggulirkan dan mendorong perluasan horisontal dari kegiatan pendidikan pesantren, yang harus mencakup pelajaran bukan hanya keagamaan. 
Usaha-usaha pendekatan untuk mengembangkan pesantren sebagai pusat pengembangan masyarakat mulai saat itu diidentifikasikan ada tiga pendekatan utama: (1) pendekatan pembaharuan pengajaran oleh beberapa pesantren yang berkembang secara tidak teratur dan tanpa koordinasi dan hanya dikenal dan diikuti secara terbatas. Usaha ini dilakukan oleh para kyai pesantren itu sendiri, dankebanyakan kyai yang telah bersentuhan dengan pendidikan modern; (2) pendekatan yang dilakukan oleh pemerintah, khususnya Departemen Agama melalui paket-paket program bantuan; (3) pendekatan yang berasal dari prakarsa organisasi swasta yang mengembangkan ilmu pengetahuan dengan melakukan kerja sama yang erat dengan pesantren progresif tertentu. Seperti usaha yang dilakukan LP3ES diikuti P3M yang melakukan usaha pendampingan bagi pesantren-pesantren tertentu dalam rangka mengembangkan pesantren sebagai pusat pengembangan masyarakat. 
Kebijakan pembangunan nasional saat ini yang menerapkan konsep otonomi daerah, di mana prakarsa-prakasa dari bawah (baca: masyarakat) diberi keleluasaan atau bahkan dikembangkan dalam bentuk kerja sama yang lebih mantap antara pemerintah dan unsur-unsur atau institusi masyarakat. Bagi kalangan pesantren, dampak positif otonomi belum begitu terasa. Namun bukan berarti tidak ada program pemerintah daerah untuk pengembangan pesantren di daerah. Di Pandeglang, saat ini pemerintah melalui Kandepag Kab. Pandeglang sedang mengusahakan ujian penyetaraan bagi santri-santri pada pesantren salafiah yang tidak mengikuti pendidikan formal. Hal ini dimaksudkan agar para santri tersebut nantinya dapat menggunakan ijazah penyetaraan itu sebagai tanda bukti untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan formal pemerintahan seperti proses pencalonan menjadi Lurah, penyuluh agama. 
Di era reformasi dan semangat desentralisasi ini, pesantren perlu membangun keinginan kuat melakukan pengembangan peran atau reposisi perannya dalam mengantisipasi segala perubahan sosial yang terjadi. Kalau dahulu pesantren dikenal sebagai lembaga isolatif, atau lembaga sebatas pendidikan keulamaan, maka ke depan penantren perlu mengembangkan paradigma baru pesantren sebagai intitusi pengembangan masyarakat, atau tegasnya pusat pengembangan masyarakat. 
Klaim pesantren sebagai pusat pengembangan masyarakat ini, menurut kami, tidaklah suatu bentuk sikap yang latah dan mengada-ada. Alasannya partisipasi pesantren selama ini terbukti mempunyai peran yang cukup menyejarah dalam dunia pendidikan, mempunyai elastisitas yang tinggi sehingga pesantren dapat survive dalam berbagai bentuk masyarakat, dan pesantren mempunyai peran yang vital dalam menjaga nilai-nilai moral masyarakat. 
Dalam rangka meningkatkan kompetensi santri, ke depan output pesantren, kalau boleh membuat pemetaan, perlulah kiranya pesantren dipetakan dalam kategori-kategori yang lebih tegas, sejauh mana pesantren menargetkan output santri yang dihasilkan. Dalam tulisan ini peneliti mereka-reka beberapa macam tipe umum karakter pesantren dilihat dari target output yang dimiliki. Pertama, pesantren yang hanya menghasilkan output santri yang berkepribadian soleh dan memahami ajaran-ajaran dasar agama. Santri pesantren model ini belum tentu berkemampuan bisa membaca kitab kuning secara sendiri ketika keluar dari pesantren. Pesantren ini kita beri tipe D; Kedua, pesantren yang mempunyai target output santri yang berkepribadian soleh dan mempunyai keahlian praktis lain atau ketrampilan khusus misalnya trampil bahasa asing, trampil di bidang pertaniaan, peternakan dsb. Pesantren model ini diberi Tipe C; Ketiga, pesantren yang mempunyai target output santri yang berkepribadian soleh dan mampu menguasai kitab-kitab klasik dan mampu membaca kitab kuning sendiri. Pesantren jenis ini kami klasifikasikan sebagai pesantren jenis B; Keempat, pesantren yang mempunyai target output santri yang berkepribadian soleh dan mampu menguasai kitab-kitab klasik dan mampu membaca kitab kuning sendiri serta mempunyai keahlian khusus tertentu Pesantren ini kita jeniskan sebagai pesantren jenis A. lebih jelasnya lihat daftar klasifikasi berikut:

Skema Target Output Santri dari Pesantren




Tipe Pesantren Target Output Santri 
Berkepribadian Soleh & Faham Ajaran-ajaran dasar agama Mampu Membaca Kitab Kuning & Menguasai Kitab-kitab klasik Mempunyai ketrampilan Praktis tertentu (Mis. Trampil bahasa asing, Pertanian, pertukangan, elektronik, otomotif dsb) 
A  




Dengan pengkategorian semacam ini, akan mudah bagi pesantren untuk melihat tingkatan output santri yang dihasilkan. Akan mudah juga bagi santri dalam memetakan dirinya, sejauh mana dia telah berhasil menjadi santri dengan beberapa keahlian yang dimilikinya. Keahlian-keahlian khusus yang dimiliki seperti itulah yang akan sangat dibutuhkan oleh masyarakat di luar pesantren, baik untuk kepentingan pembangunan daerah maupun kepentingan pembangunan nasional. Di sini kita bisa memandang penting perlunya pesantren melakukan diversifikasi keilmuan dan atau diversifikasi keahlian praktis dalam mengembangkan keunggulan pesantren yang nantinya menjadi ciri khas keahlian pada output santrinya. 

D. Pesantren dan Usaha Ekonomi
Berikut ini kita akan mencoba mengamati pesantren-pesantren yang mencoba membuat satu ikhtiar menambah kemampuan santri di bidang wira usaha atau ekonomi. Berangkat dari kesadaran bahwa tidak semua santri akan menjadi ulama, maka beberapa pesantren mencoba membekali santri dengan ketrampilan di bidang pengembangan ekonomi. Artinya santri yang dihasilkan diharapkan mempunyai pengalaman dan syukur keahlian praktis tertentu yang nantinya dijadikan modal untuk mencari pendapatan hidup sekeluar dari pesantren. 
Kalau mencermati prilaku ekonomi di lingkungan pesantren pada umumnya, kita dapat menerka kemungkinan model apa yang sedang berjalan dalam usaha usaha tersebut. Setidaknya ada empat macam kemungkinan pola usaha ekonomi di lingkungan pesantren; Pertama, usaha ekonomi yang berpusat pada kyai sebagai orang yang paling bertanggungjawab dalam mengembangkan pesantren. Misalnya seorang kyai mempunyai perkebunan cengkih yang luas. Untuk pemeliharaan dan pemanenan, kyai mmelibatkan santri-santrinya untuk mengerjakannya. Maka terjadilah hubungan mutualisme saling menguntungkan: kyai dapat memproduksikan perkebunannya, santri mempunyai pendapat tambahan, dan ujungnya dengan keuntungan yang dihasilkan dari perkebunan cengkeh maka kyai dapat menghidupi kebutuhan pengembangan pesantrennya. Dalam kasus di Pandeglang, peneliti menemukan pesantren dalam jenis ini pada Pesantren Nurul Hidayah Cilaja kec. Pandeglang. 
Kedua, usaha ekonomi pesantren untuk memperkuat biaya operasional pesantren. Contohnya, pesantren memiliki unit usaha produktif seperti menyewakan gedung pertemuan, rumah dsb. Dari keuntungan usaha-usaha produktif ini pesantren mampu membiayai dirinya, sehingga seluruh biaya operasional pesantren dapat ditalangi oleh usaha ekonomi ini. Dalam kasus Pandeglang, peneliti menemukan contoh pesantren jenis ini pada Pesantren Baitul Hamdi di kec. Menes. 
Ketiga, usaha ekonomi untuk santri dengan memberi ketrampilan dan kemampuan bagi santri agar kelak ketrampilan itu dapat dimanfaatkan selepas keluar dari pesantren. Pesantren membuat program pendidikan sedemikian rupa yang berkaitan dengan usaha ekonomi seperti pertanian dan peternakan. Tujuannya semata-mata untuk membekali santri agar mempunyai ketrampilan tambahan, dengan harapan menjadi bekal dan alat untuk mencari pendapatan hidup. Pesantren Baitul Hamdi di Menes Pandeglang dapat dijadikan sampel pesantren dalam jenis ini juga, karena di sana santri diajak untuk bertani, dan berkebun. 
Keempat, usaha ekonomi bagi para alumni santri. Pengurus pesantren dengan melibatkan para alumni santri menggalang sebuah usaha tertentu dengan tujuan untuk menggagas suatu usaha produktif bagi individu alumni, syukur bagai nanti keuntungan selebihnya dapat digunakan untuk mengembangkan pesantren. Prioritas utama tetap untuk pemberdayaan para alumni santri. Dalam kasus di Pandeglang, peneliti menemukan contoh pesantren dalam jenis ini ada pada Pesantren Turus desa Kabayan kec. Pandeglang. Pesantren Turus mendirikan usaha ekonomi berupa koperasi yang bergerak dalam kegiatan usaha simpan pinjam dan perdagangan. 
Dari hasil wawancara dengan para pelaku ekonomi di lingkungan pesantren, permasalahan-permasalahan umum yang biasa dihadapi oleh pesantren dalam mengembangkan usaha ekonomi di lingkungannya adalah sekitar permasalahan terbatasnya Sumber Daya Manusia berkualitas dan permasalahan terbatasnya permodalan. Akibat dari keterbatasan SDM berkualitas mengakibatkan pengelolaan usaha ekonomi di lingkungan pesantren tidak tergarap secara profesional. 
Contoh kasus, dari keseluruhan jumlah pesantren di Pandeglang, pesantren yang telah memiliki koperasi pondok pesantren (kopontren) berjumlah 64 dengan badan hukum. Berdasarkan informasi dari kantor koperasi di Kab. Pandeglang dari kopontren itu hanya sekitar 30 persen, yaitu kurang lebih 15-20 koperasi. Diantaranya: Koperasi al Muawanah (Pesantren Turus), Koperasi al Kiswah (Mengger), Koperasi al Maarif (Cadasari), Koperasi al Falah (Ciekek Karaton), Koperasi Santri Mandiri (Cimanuk), Koperasi Riadhul Atfal (Pagelaran), Koperasi al Muttaqin (Sidomukti, Patia). Sayangnya rata-rata koperasi ini belum banyak melakukan managemen modern misalnya dilihat dari koperasi yang melakukan Rapat Anggota Tahunan (RAT) masih sangat sedikit. 
Adapun masalah permodalan, adalah merupakan permasalahan umum di semua usaha ekonomi, tidak mengenal itu di pesantren maupun di luar pesantren. Perusahaan-peruasahaan besar pun merasa bahwa dari permodalan selalu kurang. Sebagai tambahan keterangan, sebagaimana diindikasikan oleh Adi Sasono, Menteri Koperasi pada masa Presiden Habibie, kelemahan umum perekonomian masyarakat antara lain disebabkan oleh karena kurangnya aspek permodalan, managemen yang profesional dan dukungan kesempatan untuk berusaha. 

E. Usaha Ekonomi pada Pesantren ber Kyai dan Pesantren Tanpa Kyai
Menemukan pesantren yang mempunyai usaha ekonomi yang aktif di Pandeglang ternyata tidaklah gampang. Baru setelah bertanya ke sana ke mari, akhirnya peneliti menemukan beberapa pesantren yang mempunyai usaha ekonomi yang aktif. Untuk membantu memudahkan analisa, peneliti kemudian mengambil dua contoh usaha ekonomi pesantren dari dua model pesantren yang berbeda, yaitu usaha ekonomi yang dijalankan oleh pesantren model kombinasi salaf-khalaf, dalam penelitian ini mengambil sampel Pesantren Turus, dan usaha ekonomi yang dijalankan oleh pesantren model khalaf (modern), dalam hal ini dipilih Pesantren Baitul Hamdi. Atau peneliti istilahkan untuk Pesantren Turus sebagai pesantren yang ber kyai dan untuk Pesantren Baitul Hamdi sebagai pesantren tanpa kyai. 
Ungkapan pesantren yang berkyai adalah pesantren pada umumnya, yaitu pesantren yang mempunyai figur sentral sebagai penentu kebijakan pesantren. Figur sentral itu terletak pada sosok kyai. Pesantren ber kyai ini ada dalam model-model pesantren salaf dan pesantren kombinasi salaf dan khalaf. Sedangkan pesantren yang tanpa kyai ini dimaksudkan untuk sebutan pesantren yang tidak memiliki figur sentral. Magemen pesantren dikelola secara bersama antar dewan ustadz atau pengurus yayasan. Biasanya pesantren jenis ini didirikan dengan disponsori orang atau institusi yang berduit kemudian ingin menggunakan aset kekayaannya untuk kpentingan agama. 

Pesantren Turus. Pesantren ini didirikan pada tanggal 8 Rabiul Awal 1361 atau 10 Pebruari 1942. Berlokasi di kalurahan Kabayan kecamatan Pandeglang Kab. Pandeglang. Lebih kurang 2, 5 km dari kota Pandeglang jalan ke arah tenggara menuju Rangkasbitung, Lebak. Pendirinya adalah K. H. Tb. Moh. Idrus bin H. Tb. Moh Maruf (wafat tahun 1975). Kata "Turus" berasal dari kata "tuTurus" sebuah istilah bahasa Sunda yang berarti "tiang" atau "tonggak" yang biasanya digunakan untuk menyangga pohon sayuran kacang panjang. Dimaksudkan pesantren dinamai Turus ini adalah harapan pesantren yang didirikan ini nantinya mampu meletakkan tonggak-tonggak atau dasar-dasar ilmu dan pengamalan ajaran Islam kepada santrinya sebagai penerus generasi di masa yang akan datang. 
Awalnya pesantren ini bercorak salafi, yakni pengajaran agama dengan menggunakan sistem sorogan dan bandongan. Namun dengan berjalannya waktu, pesantren ini kemudian mengkombinasikan pendidikan pesantren dengan pendidikan formal seperti madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah dan madrasah aliyah. Satu sikap kombinasi yang banyak diakomodasi oleh pesantran-pesantren salaf saat ini. Sistem kombinasi ini menggabungkan sistem pesantren salaf dan pendidikan formal atau modern. Dari tahun 1942 sampai kurang lebih tahun 1966 Pesantren Turus masih sepenuhnya menggunakan model salafi, namun setelah tahun 1966 pesantren ini mulai mengembangkan pendidikan formal. 
Menurut H. Tb. Ahmad Taftazani, salah satu kyai di Pesantren Turus, ciri khas yang dikembangkan di Pesantren Turus ini adalah penguasaan santri dalam ilmu-ilmu alat (nahwu dan shorof). Usaha pencapaian target ini ditempuh melalui pendidikan dengan sistem salafi (kajian kitab dengan cara sorogan dan bandongan) dan sistem modern yaitu dengan sistem kelas. Usaha ekonomi di pesantren ini posisinya hanyalah sebagai nilai tambah bagi alumni santri dan sebagai satu bentuk pengabdian dan partisipasi pesantren dalam pembangunan. 
Secara umum Pesantren Turus ini, sampai kemudian mempunyai usaha yang bergerak di bidang ekonomi, mengalami tiga tahap perkembangan, yaitu pertama pesantren mengembangkan sistem salafi murni yang hanya mengajarkan kitab-kitab Islam klasik yaitu dari tahun 1942 hingga 1966; kedua, pesantren ini mulai tahun 1966 melakukan akomodasi sistem pendidikan agama secara modern yaitu dengan mengkombinasikan sistem salafi dengan pendidikan keagamaan formal, seperti memodifikasi madrasah agama menjadi Madrasah Tsanawiyah (tahun 1966), membuka sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) tahun 1968, mendirikan Madrasah Aliyah (tahun 1969); ketiga, pesantren ini membuat terobosan baru melangkah pada pengembangan sosial ekonomi yaitu mulai tahun 1998 yaitu dengan mendirikan Koperasi BMT Muamalat Pertiwi. 
Dapat disampaikan bahwa usaha ekonomi melalui koperasi di Pesantren Turus merupakan hasil perkembangan lanjut dari proses evolusi pesantren dari pesantren salaf menuju pesantren kombinasi. Koperasi Pesantren Turus yang diberi nama Koperasi BMT Muamalat Pertiwi saat ini telah berbadan hukum Nomor 676/BHK/KWK. 10/VII/1998 tertanggal 23 Juli 1998 dan berkantor di Jl. Yusuf Marta dilaga No. 6 Pandeglang. 

Tahapan Perkembangan Sistem
Di Pesantren Turus


1942 1966 1998 Skr

Sistem Salafi Usaha Pend. Formal Usaha Sosial Ekonomi



Secara umum dapat digambarkan: keanggotaan Koperasi meliputi tidak hanya keluarga besar pesantren tetapi juga melibatkan masyarakat sekitar sehingga total anggota berjumlah 209 orang, yang terdiri dari pedagang 176 orang, PNS 20 orang, Tani 2 orang, lain-lain 11 orang. Jumlah simpanan pokok sebanyak Rp. 200. 000, - dan simpanan wajib Rp. 10. 000, - Usaha koperasi meliputi Usaha simpan pijam dan Perdagangan Umum. 
Keberhasilan-keberhasilan yang pernah dicapai Koperasi Pesantren Turus ini adalah (1) Membuka cabang baru untuk usaha simpan pinjam yaitu dengan membuka Lembaga Keuangan Mikro (LKM) Fi Sabilillah di Jl. Labuhan Km. 3 Pasar Maja Pandeglang; (2) Membuka toko Swalayan "as Sofa"di jalan T. Martadinata 22 Pandeglang. Total aset yang dimiliki, dari ketiga unit usaha koperasi, kurang lebih mencapai 500 juta rupiah. Prestasi paling besar pernah terjadi pada tahun 2000 dengan jumlah Sisa Hasil Usaha sebanyak 20 juta rupiah. 
Alasan utama kenapa Pesantren Turus memilah bidang usaha yang bergerak di bidang koperasi dan perdagangan, berdasarkan hasil wawancara, disebabkan oleh karena (1) Khusus masalah koperasi, Pesantren Turus tertarik menindaklanjuti himbauan pemerintah dalam hal ini himbauan yang disampaikan Departemen Agama bekerjasama dengan Departemen Koperasi waktu itu yang menganjurkan setiap pesantren untuk mendirikan Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren); (2) Sedangkan pengembangan di bidang sektor perdagangan didasari pertimbangan bahwa lokasi koperasi pesantren berada ditengah kota Pandeglang, tepatnya di sekitar pasar Kab Pandeglang. 
Belakangan usaha ini mengalami kemunduran dan penurunan keuntungan. Permasalahan penyebab kemunduran yang dihadapi oleh koperasi pesantren ini berdasarkan wawancara dengan pengurus koperasi BMT Muamalat Pertiwi adalah (1) persoalan keterbatasan SDM yang berkualitas, (2) terbatasnya modal pengembangan (investasi); (3) Munculnya pesaing bisnis baru dari industri modern seperti bisnis waralaba dari perusahaan nasional Indomart dan Alfamart yang telah merambah ke kota-kota kecamatan. 

Pesantren Baitul Hamdi, pesantren itu berdiri di Kampung Naggorak-Cibadak, Menes, Pandeglang. Yaitu di pinggir jalan raya Pandeglang ke arah Pantai Carita. Pesantren ini didirikan oleh seorang mantan pejabat di lingkungan Departemen Pertanian Pusat (Ibu?), berdiri di atas tanah seluas 17 ha. Pesantren ini didirikan dalam satu rangkaian yang menjadi gagasan utama pendirian yayasan Baitul Hamdi. Berdiri secara formal pada tahun 2000 dengan bernaung di bawah Yayasan Sosial Baitul Hamdi dengan Badan Hukum No. 01/16-SePTember 2000, Notaris Eka Purwanti, SH. 
Dari persiapan dan model perencanaan, pesantren ini jelas menunjukkan pesantren digagas dengan sistem modern. Pesantren ini tidak memiliki figur sentral kyai (pesantren tanpa kyai), semuanya dikelola dengan model organisasi modern. Kurikulum dan program-program yang dikembangkan pesantren dari awal sudah diniati menuju pesantren agribisnis, yaitu menggabungkan antara pembentukan santri yang berakhlak solih dan mempunyai ketrampilan di bidang pertanian (Tipe C). Output santri tidak ditargetkan untuk mampu menguasai kitab-kitab klasik atau mampu membaca kitab kuning. Kemampuan dasar di bidang agama yang ditargetkan dimiliki oleh setiap santri adalah paham terhadap ajaran-ajaran dasar agama, bisa menjadi imam sholat, khatib, memimpin doa, pidato dan mengembangkan agama. Sebagai tambahan kegiatan santri, sebelum lulus santri diwajibkan hafal Juz Amma dan Surat-surat Al Quran tertentu. 
Ada empat pilar utama program Baitul Hamdi, dua program dikembangkan dalam rangka rekayasa pendidikan dan dua program untuk rekayasa sosial ekonomi. Dua program untuk rekayasa pendidikan ditujukan untuk menjawab permasalahan yang berkait dengan masa depan, yaitu meliputi : (1) Pondok Pesantren Agribisnis Baitul Hamdi, (2) SMU Islam Terpadu (SMUIT) Baitul Hamdi. Sedangkan dua program untuk rekayasa sosial ekonomi ditujukan untuk menjawab permasalahan kenikinian, meliputi: (3) program SBU (Stategic Bussines Unit) dan (4) program CD (Community Development). 

Skema 4 Pilar Pengembangan Baitul Hamdi



Keempat program utama itu mulai dijalankan pada tahun 1999 dengan langkah pertama pendirian masjid sebagai pusat pelaksanaan program CD (Community Development). Berturut-turut kemudian pelaksaan program-program SBU (Strategis Community Unit) sebagai usaha produktif untuk menggalang dana operasional Baitul Hamdi. Berikutnya, mulai tahun 2003 ini dibuka Pesantren Agribisnis Baitul Hamdi. Sedangkan SMUIT masih dalam proses penggagasan dan direncanakan dibuka untuk tahun depan 2004. 



Usaha di bidang ekonomi produktif yang telah dilakukan oleh Pesantren Baitul Hamdi dalam unit Strategic Bussines Unit (SBU) antara lain: (1) Perkebunan dan pertanian, sektor ini merupakan bagia utama materi pembelajaran para santri, dan sampai saat ini masih dalam taraf pertumbuhan. ; (2) Peternakan: Sapi, bebek, sektor ini dilakukan dengan bekerja sama dengan masyarakat sekitar; (3) Penyewaan villa, pendopo, gedung, sektor ini yang memberikan pemasukan paling besar, (4) Pabrik pengolahan rumput laut menjadi makanan Jelly, sektor ini berhasil menyerap tenaga kurang lebih 110 orang. 
Alasan utama pemilihan bidang-bidang usaha yang dipilih Pesantren Baitul Hamdi adalah (1) Karena melihat potensi utama daerah Pandeglang adalah daerah pertanian dan didukung oleh ketersediaan tanah 17 ha di tengah-tengah suasana pedesaaan; (2) adanya potensi pariwisata potensial di daerah pandeglang yaitu meliputi adanya pantai-pantai terkenal seperti pantai Carita, pantai Tanjunglesung dan secara kebetulan lokasi Pesantren berada di tepi jalan utama ke dua lokasi pantai tersebut. 
Dari usaha ekonomi yang telah dilakukan oleh Baitul Hamdi telah menunjukkan manfaat (1) Berhasil menutupi biaya operasional seluruh kegiatan Baitul Hamdi yang melibatkan kurang lebih 30 orang; (2) Berhasil memberikan peluang pekerjaan di Pabrik pengolahan rumput laut sehingga memberikan tambahan pendapatan untuk kurang lebih 110 orang dari masyarakat sekitar; (3) memberi bekal kemampuan wirausaha untuk para santri yang belajar di sana. 
Konsep pengembangan SBU selengkapnya dapat dilihat dalam skema pengembangan berikut: 



Skema Program SBU Baitul Hamdi




F. Pembahasan
Berdasarkan paparan di atas, kita dapat mencermati usaha partisipasi pesantren dalam pembangunan ekonomi yang diharapkan manfaatnya berguna baik secara internal untuk keluarga besar pesantren itu sendiri atau secara eksternal ke masyarakat luas. Dari wilayah Pandeglang, kami menemukan dua buah pesantren yang mempunyai latar belakang, pendekatan yang berbeda dalam mengembangkan ekonomi, yaitu usaha ekonomi di Pesantren Turus dan usaha ekonomi di Pesantren Baitul hamdi. Berangkat dari model dan gaya yang berbeda inilah kemudian kami lakukan studi komparasi. Pesantren Turus adalah pesantren yang semula salafi yang kemudian karena tuntutan menyesuaikan perubahan zaman mencoba mentranformasikan diri ke bentuk pesantren bergaya kombinasi salaf dan khalaf. Sedangkan Pesantren Baitul Hamdi dari awal tegas-tegas menggunakan pendekatan khalaf (baca: Modern). 
Secara umum peneliti berkesimpulan bahwa studi tentang pesantren dan pengembangan ekonomi di lingkungan pesantren masih tahap awal sekali dan terkesan tertatih-tatih mencari bentuk. Wacana atau tradisi berekonomi dalam pesantren masih cukup muda kurang lebih wacana itu berkembang pada pertengahan tahun 1990-an menjelang tahun 2000. Memang usaha pendampingan ekonomi dalam pesantren pernah dilakukan sebelumnya misalnya oleh menteri Agama Mukti Ali pada tahun 1970-an, Kemudian apa yang dilakukan LP3ES yang melakukan pendampingan terhadap beberapa pesantren tertentu, yang kemudian diikuti oleh P3M. Namun sejauh ini, baru bisa menjadikan beberapa pesantren itu sebagai model, belum menjadi wacana kuat untuk kebanyakan pesantren. 
Ke depan, sesuai dengan tesis kami di depan, usaha diversifikasi pesantren dalam masalah keahlian santri di bidang keilmuan dan atau ketrampilan praktis mutlak perlu dilakukan. Usaha ini utamanya perlu di sadari oleh kalangan pengelola pesantren dan juga bagi pemerintah. Karena dari kebutuhan itu dapat dilakukan berbagai komunikasi dan dialog yang produktif antara kedua belah pihak. 
Khusus berkaitan dengan studi kasus terhadap Pesantren Turus dan Pesantren Baitul Hamdi, nampak bahwa keduanya merupakan sama-sama pesantren yang menyadari pentingnya ketrampilan di bidang ekonomi perlu dilakukan sebagai satu bentuk materi pembelajaran untuk di lingkungan pesantren. Sekalipun kedua-duanya sama baru dalam awal dalam kegiatan berusaha, kedua pesantren menunjukkan komitmen yang kuat untuk membangun tradisi itu. Satu kesadaran yang perlu juga dikembangkan pada pesantren lainnya. 
Secara paradigmatik pengembangan pesantren, Pesantren Turus dan Pesantren Baitul Hamdi telah menerapkan konsep pesantren sebagai pusat pengembangan masyarakat. Pesantren tidak lagi hanya dipahami sebagai lembaga pencetak calon ulama saja, tetapi sudah dianggap sebagai satu bagian integral dari masyarakat yang perlu terlibat aktif dalam proses perubahan sosial, tentu saja dengan kacamata pesantren. 
Pesantren Turus dari sisi pembelajaran terhadap santri, sekalipun dalam usaha ekonomi masih dapat dikatakan belum berhasil, namun dari gagasannya mengarah pada kosep santri yang mendekati paripurna. Artinya pesantren mentargetkan output santri selain mempunyai kepribadian yang baik, pesantren juga mentargetkan santri menguasai ilmu-ilmu alat berbahasa untuk kemampuan pembacaan kitab kuning, di tambah lagi santri di arahkan mempunyai ketrampilan di bidang usaha. Atau kalau dikategorikan masuk dalam pesantren tipe A. Adapun pada Pesantren Baitul Hamdi, dalam bidang usaha ekonomi dapat dikatakan telah menunjukkan berhasil, walaupun ke depan perlu juga untuk dicermati tingkat keberhasilannya, namun paling tidak terbukti pesantren ini telah mampu membiayai biaya operasional pesantren dari unit usaha ekonominya. Dari segi target output santri, Pesantren Baitul Hamdi tidak memasang target terlalu tinggi, yang diutamakan lebih pada santri dengan kemampuan penguasaan ilmu agama dasar, ketrampilan praktis dalam urusan agama dan profesional di bidang usaha (tipe C). 
Dari sisi motivasi pesantren melakukan kegiatan ekonomi, pada Pesantren Turus banyak termotivasi oleh himbauan dan dorongan pemerintah, khususnya Departemen Koperasi, dalam rangka pemberdayaan masyararakat. Sedangkan bagi Pesantren Baitul Hamdi, pengembangan pesantren di bidang yang bersentuhan dengan dunia ekonomi lebih karena untuk membangun bentuk pesantren alternatif. Dampak dari motivasi ini berdampak pada tingkat keberhasilan masing-masing. Pesantren Turus pernah berhasil, namun kemudian agak mengalami penurunan. Sedangkan bagi Pesantren Baitul Hamdi, sejauh ini menunjukkan gambaran menaik sekalipun dari pengamatan peneliti masih terkesan naiknya pelan. 
Dari pilihan pengembangan usaha ekonomi, baik Pesantren Turus dan Pesantren Baitul Hamdi kedua-duanya telah memilih sesuai dengan konteks lingkungan yang dimiliki masing-masing. Pesantren Turus karena lokasinya berada di dekat kota Kabupaten Pandeglang, maka pilihan usahanya dijatuhkan pada pengembangan koperasi dan perdagangan. Sedangkan Pesantren Baitul Hamdi, karena lokasinya di pedesaan dan di pinggir jala jalur pariwisata, pilihannya jatuh pada bidang pertanian/perkebunan dan mengembangkan potensi pariwisata. 
Dari sisi tingkat kebutuhan bantuan yang diharapkan dari pemerintah, kedua pesantren sama-sama membutuhkan dukungan penuh dari pemerintah, paling tidak political will pemerintah yang kuat dalam memberi peluang berusaha bagi kalangan pesantren. Untuk Pesantren Turus, mereka masih membutuhkan pendampingan dalam pengembangan SDM berkualitas dan tambahan investasi, sedangkan untuk Pesantren baitul Hamdi, mereka membutuhkan adanya tambahan investasi dan pengembangan pasar bagi produk usah mereka. 

Perbandingan Pengembangan Ekonomi
Di Pesantren Turus dan Pesantren Baitul Hamdi


Pesantren Turus Pesantren Baitul Hamdi 
Output Santri Kepribadian solih, penguasaan kitab dan mempunyai wawasan ketrampilan praktis berusaha (tipe A) Kepribadian solih, memiliki kemampuan dalam pelayanaan keagamaan umum dan utamanya profesional dalam kegiatan usaha (tipe C) 
Posisi kegiatan ekonomi dalam konsep pembelajaran Komplementer Pilihan profesional 
Alasan Pengembangan kegiatan Ekonomi Himbauan Pemerintah Usaha pengembangan pesantren alternatif 
Kesiapan konsep pengembangan Masih berproses Konsep telah matang sebelum dijalankan 
Unit Usaha ekonomi Koperasi simpan pinjam dan perdagangan Pertanian/perkebunan dan memfasilitasi potensi pariwisata 
Tingkat Keberhasilan Pasang surut (Belum sepenuhnya berhasil} Menunjukkan tanda-tanda keberhasilan 
Kebutuhan Bantuan yang diperlukan Pendampingan manajemen dan investasi Investasi dan pengembangan pasar 


G. Penutup
Demikianlah, paparan ini merupakan satu bentuk pembahasan mengenai praktik pengembangan ekonomi di lingkungan pesantren. Intinya bahwa untuk pengembangan usaha ekonomi di lingkungan pesantren dalam rangka mempertajam keahlian praktis bagi santri, masih membutuhkan bantuan dari berbagai pihak untuk mendukungnya, baik dari pemerintah, kalangan swasta maupun masyarakat pada umumnya. 
Perbandingan antara Pesantren Turus dan Pesantren Baitul Hamdi dalam studi kasus ini bukan dimaksudkan sebagai usaha menunjukkan mana yang lebih baik, tetapi lebih sebagai usaha menggambarkan variasi-variasi usaha ekonomi yang mulai diujicobakan di lingkungan pesantren. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan yang bisa dijadikan sebagai bahan untuk saling belajar. 
Dari penelitian ini, kami mengusulkan beberapa langkah yang bisa dilakukan dalam pengembangan ekonomi dalam rangka pemberdayaan pesantren. Diantara pihak pemerintah daerah dan kalangan pesantren perlu melakukan (1) identifikasi bersama potensi pesantren dan permasalahan wilayah. Identifikasi ini diperlukan agar pesantren mengembangkan kegiatan ekonomi sesuai dengan daya dukung lingkungannya; (2) menetapkan komoditi ekonomi yang cocok di satu pesantren yang sesuai dengan kebutuhan pasar yang dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan bersama; (3) menyusun program bersama yang didasarkan pada usaha pemberdayaan pesantren, semoga bermanfaat.***



Daftar Pustaka
Adi Sasono, Pengantar dalam Muhammadiyah dan Pemberdayaan Rakyat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995).
Data Pondok Pesantren Penyelenggara Unit Usaha Ekonomi, Klinik dan Sosial, yang dikeluarkan oleh Proyek Peningkatan Pondok Pesantren pada Direktorat. 
Data Ponpes di Lingkungan Kantor Departemen Agama Kab. Pandeglang, tahun 2003.Jenderal Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama RI, tahun 2002.
Djoewisno, Kabupaten Pandeglang 128 Tahun 
Herman Fausi, Banten dalam Peralihan: Sebuah Kontruksi Pemjikiran tentang Paradigma Baru Pembangunan Daerah, (Tangerang: YASFI, 2000), 
Kompas, Rabu 9 Februari 2000.
Laporan Tahunan ke-4 Koperasi BMT Muamalat Pertiwi, tahun 2001 
Profile: Lembaga Pendidikan Islam Terpadu Baitul Hamdi, tahun 2003.
Risalah Keadaan Pondok Pesantren Turus Pandeglang Banten
Ziemek Manfred, Pesantren dalam Perubahan Sosial, (Jakarta: P3M, 1986) 

Wawancara
Muslih, (Kasi Pekapontren Kandepag Kab. Pandeglang), 
Ade Izzudin Ketua (Koperasi di Pesantren Turus Pandeglang), 
Ir. Adhi M. Harahap (Direktur Pelaksana Pesantren Baitul Hamdi Menes Pandeglang) 
Juanda (Kepala Seksi Kantor Koperasi Kab. Pandeglang), 
H. Tb. Ahmad Taftazani (salah satu kyai di pesantren Turus)

 

Editor:
Apakah informasi di atas cukup membantu?

TERKINI

OPINI